Rabu, 07 Desember 2011

Perang Terbuka Sri Mulyani vs Ical (Dosa-Dosa Bakrie dimata SM)

Desember 10, 2009
Telah lama saya menunggu agar konflik internal yang telah dibungkus dengan rapi antara Menkeu Sri Mulyani dan mantan Menko Kesra Aburizal Bakrie di kabinet Indonesia bersatu dibongkar. Hal ini dikarenakan telah terjadi power abuse yang dilakukan salah satu menteri di Kabinet Pemerintahan SBY-JK silam yang diaminin oleh pak Presiden SBY. Dan menteri yang begitu gentol melakukan perlawanan kepada tindakan Bakrie sampai-sampai ‘mengancam’ mengundurkan dari kabinet adalah Sri Mulyani.
Jika konflik internal yang terjadi tidak menyangkut masalah negara, maka sudah sepantasnya itu adalah masalah aib pribadi orang yang harus ditutup dan dibungkus. Tapi, bagaimana jika konflik yang terjadi menyangkut masalah negara, pengeluaran uang negara? Itulah yang menjadi perhatian kita. Dan saya harapkan melalui konflik internal ini, semua kebobrokan dapat dibongkar. Baik dari pihak Bakrie maupun pihak Sri Mulyani.
“Dosa-Dosa” Bakrie di Mata Sri Mulyani
Bermula dari Kasus Luapan Lumpur Lapindo sejak 28 Mei 2006, telah terjadi perdebatan sengit siapa pihak yang bertanggungjawab atas biaya penanggulangannya : PT Lapindo (pemegang saham terbesar adalah Bakrie Family), negara atau dua pihak. Berdasarkan sumber-sumber yang saya himpun (Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo), sebagian besar ahli drilling dan geologi menyatakan bahwa luapan lumpur Lapindo disebabkan oleh tindakan eksplorasi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie.  Fakta ini  pun didukung oleh hasil Audit Investigatif BPK atas Lumpur Lapindo yang mengindikasi terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.
Fakta yang lebih meyakinkan adalah dokumen serta pernyataan Arifin Panigoro sebagai pemilik perusahaan operator pengeboran sumur PT Lumpur Lapindo yang mengaku PT Lapindo telah melakukan pelanggaran atas SOP serta tidak mau melaksanakan tindaka preventif. Karena penyebab utama terjadi sumburan lumpur di Sidoardjo adalah aktivitas pengeboran, maka pihak yang bertanggungjawab adalah PT Lapindo Brantas sebagaimana diatur dalam UU 23/1997 dan PP 27/1999.
Meskipun sudah cukup jelas penyebab dan siapa penanggungjawabnya, namun alih-alih Presiden SBY mengeluarkan Per.Pres 14 tahun 2007 jo Per.Pres 48/2008, yang mana pemerintah  (dengan anggaran rakyat) mengambil bagian membantu penanganan biaya lumpur Lapindo. Terbitnya peraturan presiden tersebut sangat merugikan uang negara. Dalam kurun 3 tahun (2007-2009), 795 miliar APBN dikucurkan untuk membantu kelalaian pengeboran Lapindo. Rinciannya sebagai berikut : Rp 114 miliar pada 2007, Rp 513 miliar pada 2008, dan 168  miliar pada 2009. [LKPP 2007, LKPP 2008 dan UU APBN P 2009]. Baca juga : Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo. Dalam kasus lumpur Lapindo, saya sepakat dengan Bu Sri Mulyani yang menginginkan “Perusahaan Bakrielah (Lapindo) yang bertanggung atas biaya penanggulangan lumpur Lapindo, bukan negara”.
Kesalahan kedua Bakrie dimata Sri Mulyani adalah karena pemerintah SBY-JK mengintervensi penjualan saham PT Bumi Resource Tbk yang notabene adalah milik keluarga Bakrie. Pada Oktober 2008 silam, bersamaan krisis finansial dunia, saham-saham perusahaan nasional di BEI jatuh bebas tidak terkendali. Saham BUMI yang 3 bulan sebelumnya mencapai Rp 7000 per saham, anjlok dibawah Rp 1000 per saham. Tapi, pihak otoritas saham tiba-tiba menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham bumi hanya karena adanya ‘titipan’ dari Menko Kesra Aburizal Bakrie. Sri Mulyani yang memegang kendali masalah keuangan (termasuk pasar modal) jadi berang. SMI meminta pencabutan penghentian sementara perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008. Padahal yang perintah penghentian suspensi saham Bakrie berasal dari Pemerintah Republik Indonesia (Kontan, Okt/2008.). Atas kasus ini, beredar kabar bahwa Menkeu Sri Mulyani sempat ‘mengancam’ mengundurkan diri jika SBY masih terus melindungi saham Bakrie.
Kesalahan ketiga Bakrie dimata Sri Mulyani adalah kasus royalti batubara yang ditunggak oleh perusahaan Bakrie (nilainya berbeda-beda menurut versi Menkeu, BPK dan ICW). Kesalahan ketiga Bakrie dimata Sri Mulyani adalah pembangkangan royalti batubara yang dilakukan perusahaan batubara, yang sebagian diantaranya adalah perusahaan milik Bakrie. Sri Mulyani geram karena sejumlah perusahaan dengan begitu berani menghindari pajak/royalti dan bahkan menunggak bertahun-tahun. Perusahaan batubara Bakrie setidaknya menunggak 2-5 triliun royalti Batubara hasil akumulasi sejak 2002/2003. Tidak hanya sampai disitu, SM juga membuat keputusan pencekalan terhadap sejumlah petinggi perusahaan batu bara Bakrie.
Kesalahan keempat Bakrie dimata Sri Mulyani adalah rencana Bakrie menguasai saham 14% PT Newmont Nusa Tenggara. Mengingat potensi yang besar dari Newmont, Sri Mulyani menolak keinginan Bakrie membeli 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Saat menjabat pelaksana tugas Menko Perekonomian, Sri Mulyani meminta agar seluruh saham divestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara. Meski begitu, ketika jabatan Menteri Koordinator Perekonomian berpindah ke Hatta Rajasa, melalui Multicapital akhirnya Bakrie bisa mendapatkan 75 persen dari 14 persen saham Newmont. Keinginan Bakrie terwujud walau tak sampai 100 persen.
Perang Terbuka di Mulai
Tanpa perlu berpikir banyak, sudah dapat dipastikan bahwa Bakrie selama ini merasa kepentingan bisnisnya  yang ‘liar’ dicekal oleh Menkeu Sri Mulyani. Sri Mulyani yang ingin lembaganya profesional tentu berusaha untuk tidak tolerir dengan pejabat negara atau politisi yang berusaha memanfaatkan fasilitas negara (keuangan negara). Namun, ambisi besar Sri Mulyani untuk ‘menertibkan’ usaha Bakrie terpental ditangan ‘majikan’-nya. Bakrie yang berkontribusi besar dalam menyumbang biaya kampanye Presiden SBY-JK pada pemilu 2004 membuat SBY berhutang budi. Ketergantungan SBY pada konglomerat Bakrie tidak hanya berhenti pada periode 2004-2009, pada pilpres Juli 2009 lalu, pasangan SBY-Boediono kembali mendapat dukungan dana dari keluarga Bakrie. Bakrie melalui anaknya Anindya Bakrie menjadi salah satu donatur kakap bagi pasangan SBY-Boediono.
Hubungan simbiosis mutualisme ini membuat SBY-Boediono tidak tegas terhadap perilaku-perilaku Bakrie inc. yang diduga melakukan penyimpangan. Sehingga jangan harap Kasus Lumpur Lapindo dapat diselesasikan secara tuntas oleh SBY, meskipun JK yang dulu menjadi Ketum Golkar tidak lagi menjadi Wapres. Begitu juga, Presiden SBY tidak akan tegas menuntut perusahaan Bakrie agar segera membayar royalti batubara kepada negara. Dan yang pasti, SBY telah mendukung Aburizal Bakrie untuk duduk menjadi Ketum Golkar melawan Surya Paloh.
Selain Bakrie, dapat dipastikan bahwa Menkeu Sri Mulyani tidak disukai oleh sejumlah oknum pejabat dan politisi yang selama ini melakukan money laundring melalui rekening liar di departemen.  Pada tahun 2007 silam, Menkeu Sri Mulyani memerintahkan menutup rekening-rekening liar milik berbagai departemen. Hingga tahun 2008, jumlah rekening liar yang berhasil ditutup mencapai 2.086 rekening dengan total total nilainya keuangan negara yang diselamatkan mencapai Rp 7,28 triliun.
Ketegasan Menkeu Sri Mulyani ini tentu membuat para pejabat korup merasa kegerahan. Setali tiga uang dengan para pengusaha/kontraktor nakal. Selama Menkeu dijabat Sri Mulyani, banyak reformasi yang dilakukan terkait mekanisme pelelangan proyek pemerintah.  Sebagai catatan, Sri Mulyani bersama timnya mengelola sedikitnya Rp 700 triliun uang negara per tahun. Sepertiga dari dana tersebut digunakan untuk pengadaan barang dan jasa, yang mana para konglomerat/pengusaha bermain proyek didalamnya. Selama ini, banyak pengusaha yang melakukan cara pintas untuk mendapat proyek, dengan menyuap pejabat pelelangan dan departemen keuangan.
Dengan uraian ini, maka sangatlah mungkin bahwa ada orang yang tidak senang dengan ketegasan yang dilakukan Sri Mulyani di departemennya. Banyak pihak berharap agar Sri Mulyani lengser lalu digantikan  dengan orang yang mau ‘berkompromi’ atas pundi-pundi anggaran negara yang lebih Rp 700 triliun tersebut.
*********
Melaui artikel ini, saya mengajak masyarakat untuk tidak mempolitisasi berlebihan atas kasus Bank Century. Kita harapkan kasus Century dapat diselesaikan secara hukum dengan adil dan transparan. Meskipun premis awal saya (berdasarkan audit investigasi BPK atas kasus Bank Century) menyatakan bahwa pihak yang paling bertanggungjawab dalam bailout Bank Century adalah otoritas Bank Indonesia, namun tidak tertutup kemungkinan Menkeu Keuangan sebagai Ketua KSSK, Ketua LPS dan pihak Bank Century turut bertanggungjawab dalam bailout tersebut apabila pada akhirnya proses hukum menemukan unsur pidana.
Oleh karena itu, saya memiliki harapan besar kepada institusi KPK untuk bertindak secara profesional, adil dan transparan dalam mengusut benang kusut Bank Century. Untuk Pansus Angket Bank Century di DPR, saya berharap mereka tidak mempermainkan kekuasaan politik yang mereka miliki. Tidak boleh terjadi deal-dealan agar kasus ini tenggelam, begitu juga tidak boleh kasusnya dibelokkan untuk kepentingan pihak tertentu.
Siapakah yang akan menjadi pemenang dalam peperangan ini? Jawaban ada ditangan pemimpin negeri.
Referensi :

Sabtu, 03 Desember 2011

Sri Mulyani: Saya Pasti Pulang…

Partai SRI
Seribu kuntum bunga untu kembalinya Sri Mulyani Indrawati
KOMPAS Minggu, 23 Mei 2010 | 04:04 WIB
”Namanya saja Sri Mulyani… sudah pasti saya akan menjalankan tugas mewakili Indonesia. Pasti… Aku ora minggat lan wis mesti mulih….”
Saya tidak minggat dan pasti pulang….” Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sri Mulyani Indrawati (47) dalam perbincangan santai suatu petang di rumahnya. Ia seperti menjawab tulisan budayawan Sindhunata di rubrik Opini Kompas, beberapa waktu lalu, dengan judul ”menyengat”, ”Sri Kapan Kowe Bali?”.
Sri Mulyani petang itu mengenakan blus batik motif kuno berlengan kimono, dipadu celana panjang warna putih gading, terlihat semringah. Ia menyelipkan hal-hal terkait kehidupan pribadinya di sela jawaban-jawaban serius mengenai berbagai soal terkait tugas formalnya.
Menteri Keuangan Terbaik Se-Asia versi Emerging Market Forum (2006, 2007, 2008) dan Menteri Keuangan Pilihan Tingkat Dunia versi Euromoney (2006) itu akan bertolak ke New York pada 26 Mei. Ia akan menjalani tugas barunya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia yang bertanggung jawab atas 74 negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia, Asia Timur dan Pasifik, serta Timur Tengah dan Afrika mulai 1 Juni 2010 sampai 2014, menggantikan pejabat lama, Juan Jose Daboub dari El Salvador.
Masa transisi selama satu bulan di kantor baru itu akan ia gunakan juga untuk mencari tempat tinggal. ”Saya sedang konsolidasi dengan anak-anak dan suami. Yang besar kan kuliah di Australia, yang kedua masuk Kedokteran UI, program reguler, yang bungsu kelas II mau ke kelas III SMP.”
Saya menang
Perbincangan dalam beberapa kesempatan itu memperlihatkan identitas Sri Mulyani yang lengkap; sebagai anak, ibu, istri, ilmuwan, dan birokrat, dan… sebagai manusia biasa. Ia bisa tertawa lepas—di luar senyum khas yang oleh banyak orang ditafsirkan sebagai ”sinis”—juga bisa menangis saat pidato seusai serah terima jabatan.
”Saya boleh menangis sekarang karena bukan menteri keuangan lagi. Kalau menteri keuangan nangis, rupiah akan guncang….”
Ia menangis, entah karena perpisahan itu, entah menangisi Indonesia; negeri yang sangat ia cintai. Namun, ia mengaku menangis karena lega dan bersyukur bisa menyelesaikan tugas dan menyerahkan Kementerian Keuangan yang kondisinya relatif baik dan kuat kepada pejabat baru yang kompeten dan punya komitmen kuat melanjutkan upaya yang sudah ia rintis.
Ia juga ditangisi banyak pegawai Kementerian Keuangan yang merasa kehilangan Ibu Menteri yang mampu berpikir out of the box dan berani mendobrak feodalisme birokrasi.
Hari itu, ia menerima 1.000 kuntum bunga dan imbauan, ”Ibu pulang ya… 2014….”
Di tengah suara-suara keras di ruang publik yang memojokkan, banyak yang menangis diam-diam, menyaksikan ia menjadi bulan-bulanan media dan arogansi para politisi, serta kerasnya perjuangan mempertahankan prinsip dan etika yang ia kukuhi.
Seperti yang ia ungkapkan saat memberikan kuliah umum tentang Etika dan Kebijakan Publik di Jakarta (20/5), ”Saya berhasil karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh orang yang mengingininya. Selama saya tidak mengingkari nurani saya dan masih menjaga martabat serta harga diri saya, maka di situlah saya menang….”
Bagaimana prinsip dan etika hidup itu terbangun?
Sejak kecil, dari keluarga. Dengan orangtua, khususnya Ibu, hubungan kami sangat dekat. Bapak dan Ibu selalu menceritakan segala sesuatu tentang kehidupan sehari-hari, kalau ada peristiwa, orang bersikap begini, begitu, selalu mendiskusikannya dengan kita semua. Itu dilihat dari perspektif pedagogi maupun dari sisi sikap hidup. Semua selalu ada urusannya dengan nilai-nilai atau etika. Mungkin karena latar belakang pendidikan beliau memang guru, jadi setiap hari dijadikan pelajaran untuk anak-anaknya.
Tak pernah selesai
Sri Mulyani tetap optimistis di tengah situasi yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk optimisme. Dalam kuliah umum tentang Etika dan Kebijakan Publik di Jakarta (18/05), ia mengungkapkan, ”Hanya sebagian kecil saja yang rakus, namun sebagian besar adalah orang baik dan terhormat, yang bertanggung jawab dan dengan genuine mencintai republik ini. Kecintaan ini akan menjaga etika kita saat bertindak.”
Di situ ia dengan terbuka mengungkapkan, ”Di dalam sistem politik yang tidak memungkinkan etika politik dimunculkan, orang seperti saya tidak mungkin eksis.”
Mempertahankan prinsip dan etika, dan tegas bersikap ”tidak mau” melakukan hal-hal yang berpunggungan dengan suara hati bukan hal ringan di tengah konflik antarkepentingan.
”Ada perasaan bergelora, resah, dan keresahan itu memuncak saat banyak orang baik merasa frustrasi dan banyak orang yang dipaksa untuk berkompromi. Untuk memutuskan saya tinggal atau pergi adalah dilema; dengan pergi bisa memberi yang lebih baik atau dengan pergi kemungkinan dipengaruhi menjadi lebih kecil.”
Anda sudah melakukan reformasi birokrasi selama lima tahun. Sudah tuntas?
Membangun Indonesia tak akan ada selesainya. Ibu saya bilang, membangun anak saja seperti membangun candi, menaruh bata tiap hari, mulai dari interaksi pagi. Selama menjalankan tugas, saya mendapat kesempatan besar melakukan sesuatu yang fundamental. Kalau bisa memberi inspirasi pada yang lain, di level yang signifikan, sehingga terus berjalan.
Saya lebih percaya pada sistem daripada individual meski sistem terdiri dari individu-individu. Pemimpin memang akan sangat berpengaruh terutama pada saat menunjukkan sikapnya. Tetapi saya lebih menekankan, sistem yang harus dikedepankan. Orang bisa tiba-tiba pergi, tetapi sistem harus tetap jalan.
Apa filosofi Anda menghadapi proses panjang?
Waktu saya capai dan malas menulis skripsi, almarhum Mbah Putri saya bilang, ‘Wis ta, Ndhuk (ndhuk adalah istilah Jawa untuk anak, keponakan, cucu kesayangan—Red), dilakoni. Sehari selembar, lama-lama juga selesai’. Ini mengajarkan ketekunan, persistensi, ada unsur endurance (keuletan), tawakal. Begitu seharusnya kita bekerja.
Menjawab kritik
Sri Mulyani menyadari, banyaknya kritik muncul dari kekecewaan. ”Negeri ini kaya akan sumber daya alam,” ujarnya. ”Di pertambangan, Anda tinggal datang, keruk, jual, tidak menyejahterakan. Kontraknya tertutup dalam rezim represif. Sekarang, kontrak itu harus dilihat lagi, prosesnya harus genuine, terbuka, bisa dicek berapa banyak yang dikeruk, berapa besar yang dijual, berapa harga jualnya sehingga kita bisa memperkirakan penerimaan dan pajaknya.”
Pajak adalah salah satu sarana menyejahterakan rakyat. Pemerintah harus melakukan intervensi di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial secara umum. Untuk itu, dibutuhkan birokrasi yang bersih dan efektif. Kalau ada kasus, itu adalah koreksi agar tahu sistemnya masih ada yang lemah. Reformasi tak bisa berjalan hanya di satu bidang dan sektor. Ini memberi tekanan untuk tak menghentikan reformasi.
”Yang bisa mengimbangi pasar adalah pemerintahan yang bersih dan kredibel. Pemerintah yang buruk, mendompleng pasar dan memeras rakyat,” sambung dia.
”Kalau pemerintah berusaha mengubah sistem, ini bukan soal liberal atau bukan. Salah satu pertimbangannya, mungkin, birokrasinya belum siap, atau lemah, atau korupsi. Di sisi lain, rakyat harus sejahtera. Bagaimana bisa sejahtera kalau masih korupsi?”
Jadi, apa ideologi Anda?
Pemerintahan yang bersih dikombinasikan dengan demokrasi. Itulah yang bisa menggunakan sisi baik mekanisme pasar dan mengoreksi sisi buruknya. Saya tidak pidato, tetapi saya bekerja. Maka, setiap orang yang mengkritik saya neolib, saya akan tanya apa yang sudah dia lakukan agar debat kita lebih berbobot.
Pernah ibu saya bertanya, ”Kamu itu kerjanya apa, Ndhuk?” Ibu bilang, apa dampak yang saya kerjakan. ‘Saya sudah jadi profesor, kok gajinya seperti ini, lha di TV ada kuis yang hadiahnya sampai miliaran.’ Begitu kata ibu saya. Sekarang, ketika gaji profesor sudah dinaikkan, bapak dan ibu saya sudah tidak ada.
Anda akhirnya juga bicara terbuka soal perkawinan kepentingan.
Sebenarnya itu adalah concern kita bersama. Di masa lalu maupun sekarang, banyak pejabat maupun petinggi partai adalah bekas pengusaha. Mereka tak mengenal yang namanya conflict of interest dalam pembuatan keputusan publik. Saya beberapa kali minta hal ini diatur, tetapi sampai hari ini tampaknya rancangan undang-undang mengenai hal itu masih belum jelas. Ini adalah tantangan kredibilitas kebijakan.
Tampaknya masih akan lama ya?
Iya, karena tekanan uang dalam politik begitu nyata….