Minggu, 23 Oktober 2011

Sri Mulyani: Saya Pasti Pulang…

Partai SRI
Seribu kuntum bunga untu kembalinya Sri Mulyani Indrawati
KOMPAS Minggu, 23 Mei 2010 | 04:04 WIB
”Namanya saja Sri Mulyani… sudah pasti saya akan menjalankan tugas mewakili Indonesia. Pasti… Aku ora minggat lan wis mesti mulih….”
Saya tidak minggat dan pasti pulang….” Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sri Mulyani Indrawati (47) dalam perbincangan santai suatu petang di rumahnya. Ia seperti menjawab tulisan budayawan Sindhunata di rubrik Opini Kompas, beberapa waktu lalu, dengan judul ”menyengat”, ”Sri Kapan Kowe Bali?”.
Sri Mulyani petang itu mengenakan blus batik motif kuno berlengan kimono, dipadu celana panjang warna putih gading, terlihat semringah. Ia menyelipkan hal-hal terkait kehidupan pribadinya di sela jawaban-jawaban serius mengenai berbagai soal terkait tugas formalnya.
Menteri Keuangan Terbaik Se-Asia versi Emerging Market Forum (2006, 2007, 2008) dan Menteri Keuangan Pilihan Tingkat Dunia versi Euromoney (2006) itu akan bertolak ke New York pada 26 Mei. Ia akan menjalani tugas barunya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia yang bertanggung jawab atas 74 negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia, Asia Timur dan Pasifik, serta Timur Tengah dan Afrika mulai 1 Juni 2010 sampai 2014, menggantikan pejabat lama, Juan Jose Daboub dari El Salvador.
Masa transisi selama satu bulan di kantor baru itu akan ia gunakan juga untuk mencari tempat tinggal. ”Saya sedang konsolidasi dengan anak-anak dan suami. Yang besar kan kuliah di Australia, yang kedua masuk Kedokteran UI, program reguler, yang bungsu kelas II mau ke kelas III SMP.”
Saya menang
Perbincangan dalam beberapa kesempatan itu memperlihatkan identitas Sri Mulyani yang lengkap; sebagai anak, ibu, istri, ilmuwan, dan birokrat, dan… sebagai manusia biasa. Ia bisa tertawa lepas—di luar senyum khas yang oleh banyak orang ditafsirkan sebagai ”sinis”—juga bisa menangis saat pidato seusai serah terima jabatan.
”Saya boleh menangis sekarang karena bukan menteri keuangan lagi. Kalau menteri keuangan nangis, rupiah akan guncang….”
Ia menangis, entah karena perpisahan itu, entah menangisi Indonesia; negeri yang sangat ia cintai. Namun, ia mengaku menangis karena lega dan bersyukur bisa menyelesaikan tugas dan menyerahkan Kementerian Keuangan yang kondisinya relatif baik dan kuat kepada pejabat baru yang kompeten dan punya komitmen kuat melanjutkan upaya yang sudah ia rintis.
Ia juga ditangisi banyak pegawai Kementerian Keuangan yang merasa kehilangan Ibu Menteri yang mampu berpikir out of the box dan berani mendobrak feodalisme birokrasi.
Hari itu, ia menerima 1.000 kuntum bunga dan imbauan, ”Ibu pulang ya… 2014….”
Di tengah suara-suara keras di ruang publik yang memojokkan, banyak yang menangis diam-diam, menyaksikan ia menjadi bulan-bulanan media dan arogansi para politisi, serta kerasnya perjuangan mempertahankan prinsip dan etika yang ia kukuhi.
Seperti yang ia ungkapkan saat memberikan kuliah umum tentang Etika dan Kebijakan Publik di Jakarta (20/5), ”Saya berhasil karena tidak didikte oleh siapa pun, termasuk oleh orang yang mengingininya. Selama saya tidak mengingkari nurani saya dan masih menjaga martabat serta harga diri saya, maka di situlah saya menang….”
Bagaimana prinsip dan etika hidup itu terbangun?
Sejak kecil, dari keluarga. Dengan orangtua, khususnya Ibu, hubungan kami sangat dekat. Bapak dan Ibu selalu menceritakan segala sesuatu tentang kehidupan sehari-hari, kalau ada peristiwa, orang bersikap begini, begitu, selalu mendiskusikannya dengan kita semua. Itu dilihat dari perspektif pedagogi maupun dari sisi sikap hidup. Semua selalu ada urusannya dengan nilai-nilai atau etika. Mungkin karena latar belakang pendidikan beliau memang guru, jadi setiap hari dijadikan pelajaran untuk anak-anaknya.
Tak pernah selesai
Sri Mulyani tetap optimistis di tengah situasi yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk optimisme. Dalam kuliah umum tentang Etika dan Kebijakan Publik di Jakarta (18/05), ia mengungkapkan, ”Hanya sebagian kecil saja yang rakus, namun sebagian besar adalah orang baik dan terhormat, yang bertanggung jawab dan dengan genuine mencintai republik ini. Kecintaan ini akan menjaga etika kita saat bertindak.”
Di situ ia dengan terbuka mengungkapkan, ”Di dalam sistem politik yang tidak memungkinkan etika politik dimunculkan, orang seperti saya tidak mungkin eksis.”
Mempertahankan prinsip dan etika, dan tegas bersikap ”tidak mau” melakukan hal-hal yang berpunggungan dengan suara hati bukan hal ringan di tengah konflik antarkepentingan.
”Ada perasaan bergelora, resah, dan keresahan itu memuncak saat banyak orang baik merasa frustrasi dan banyak orang yang dipaksa untuk berkompromi. Untuk memutuskan saya tinggal atau pergi adalah dilema; dengan pergi bisa memberi yang lebih baik atau dengan pergi kemungkinan dipengaruhi menjadi lebih kecil.”
Anda sudah melakukan reformasi birokrasi selama lima tahun. Sudah tuntas?
Membangun Indonesia tak akan ada selesainya. Ibu saya bilang, membangun anak saja seperti membangun candi, menaruh bata tiap hari, mulai dari interaksi pagi. Selama menjalankan tugas, saya mendapat kesempatan besar melakukan sesuatu yang fundamental. Kalau bisa memberi inspirasi pada yang lain, di level yang signifikan, sehingga terus berjalan.
Saya lebih percaya pada sistem daripada individual meski sistem terdiri dari individu-individu. Pemimpin memang akan sangat berpengaruh terutama pada saat menunjukkan sikapnya. Tetapi saya lebih menekankan, sistem yang harus dikedepankan. Orang bisa tiba-tiba pergi, tetapi sistem harus tetap jalan.
Apa filosofi Anda menghadapi proses panjang?
Waktu saya capai dan malas menulis skripsi, almarhum Mbah Putri saya bilang, ‘Wis ta, Ndhuk (ndhuk adalah istilah Jawa untuk anak, keponakan, cucu kesayangan—Red), dilakoni. Sehari selembar, lama-lama juga selesai’. Ini mengajarkan ketekunan, persistensi, ada unsur endurance (keuletan), tawakal. Begitu seharusnya kita bekerja.
Menjawab kritik
Sri Mulyani menyadari, banyaknya kritik muncul dari kekecewaan. ”Negeri ini kaya akan sumber daya alam,” ujarnya. ”Di pertambangan, Anda tinggal datang, keruk, jual, tidak menyejahterakan. Kontraknya tertutup dalam rezim represif. Sekarang, kontrak itu harus dilihat lagi, prosesnya harus genuine, terbuka, bisa dicek berapa banyak yang dikeruk, berapa besar yang dijual, berapa harga jualnya sehingga kita bisa memperkirakan penerimaan dan pajaknya.”
Pajak adalah salah satu sarana menyejahterakan rakyat. Pemerintah harus melakukan intervensi di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial secara umum. Untuk itu, dibutuhkan birokrasi yang bersih dan efektif. Kalau ada kasus, itu adalah koreksi agar tahu sistemnya masih ada yang lemah. Reformasi tak bisa berjalan hanya di satu bidang dan sektor. Ini memberi tekanan untuk tak menghentikan reformasi.
”Yang bisa mengimbangi pasar adalah pemerintahan yang bersih dan kredibel. Pemerintah yang buruk, mendompleng pasar dan memeras rakyat,” sambung dia.
”Kalau pemerintah berusaha mengubah sistem, ini bukan soal liberal atau bukan. Salah satu pertimbangannya, mungkin, birokrasinya belum siap, atau lemah, atau korupsi. Di sisi lain, rakyat harus sejahtera. Bagaimana bisa sejahtera kalau masih korupsi?”
Jadi, apa ideologi Anda?
Pemerintahan yang bersih dikombinasikan dengan demokrasi. Itulah yang bisa menggunakan sisi baik mekanisme pasar dan mengoreksi sisi buruknya. Saya tidak pidato, tetapi saya bekerja. Maka, setiap orang yang mengkritik saya neolib, saya akan tanya apa yang sudah dia lakukan agar debat kita lebih berbobot.
Pernah ibu saya bertanya, ”Kamu itu kerjanya apa, Ndhuk?” Ibu bilang, apa dampak yang saya kerjakan. ‘Saya sudah jadi profesor, kok gajinya seperti ini, lha di TV ada kuis yang hadiahnya sampai miliaran.’ Begitu kata ibu saya. Sekarang, ketika gaji profesor sudah dinaikkan, bapak dan ibu saya sudah tidak ada.
Anda akhirnya juga bicara terbuka soal perkawinan kepentingan.
Sebenarnya itu adalah concern kita bersama. Di masa lalu maupun sekarang, banyak pejabat maupun petinggi partai adalah bekas pengusaha. Mereka tak mengenal yang namanya conflict of interest dalam pembuatan keputusan publik. Saya beberapa kali minta hal ini diatur, tetapi sampai hari ini tampaknya rancangan undang-undang mengenai hal itu masih belum jelas. Ini adalah tantangan kredibilitas kebijakan.
Tampaknya masih akan lama ya?
Iya, karena tekanan uang dalam politik begitu nyata….

Tidak ada komentar: