Kamis, 27 Oktober 2011

"Jangan Anggap Serius Semua Survei"

Jum'at, 28 Oktober 2011, 09:36 WIB
Anggi Kusumadewi
Pengamat Politik dan Peneliti LIPI, Ikrar Nusa Bhakti (Antara/ Widodo S Jusuf)

VIVAnews – Pekan ini bisa dibilang sebagai pekan survei. Pasalnya, sejumlah lembaga riset tampak ‘berlomba-lomba’ merilis hasil survei yang hasilnya berbeda dan cukup variatif.

Perbedaan mencolok misalnya ditemukan pada elektabilitas yang diperoleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

Satu survei menempatkannya pada posisi teratas kandidat presiden 2014 dengan elektabilitas 19,6 persen, sedangkan survei lainnya justru menepatkan Megawati pada posisi terbawah dengan elektabilitas hanya 0,3 persen. Satu survei lagi justru sama sekali tidak mencantumkan nama presiden perempuan pertama di tanah air itu.

Hal ini membuat Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo, bertanya-tanya dan curiga. Ia menduga ada upaya sistematis untuk ‘menghilangkan’ Megawati dari kancah perpolitikan nasional, melalui sejumlah survei yang dirilis belakangan ini. “Kalau disurvei, nama Ibu Megawati pasti tertinggi. Jadi kenapa ada lembaga survei yang merilis hasil surveinya tanpa menyertakan nama Ibu?” kata Tjahjo.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, berpendapat bahwa PDIP tak perlu risau dengan berbagai hasil survei yang berbeda tersebut. “Jangan anggap serius semua survei. Susah bila semua survei dianggap serius. Jangan lupa, penyandang dana juga bisa menentukan hasil survei,” kata Ikrar kepada VIVAnews.com, Jumat 28 Oktober 2011.

Ikrar menjelaskan, hasil survei juga tidak bisa dilepaskan dengan sponsor anggaran survei, metode survei, rekam jejak lembaga survei, dan orang-orang yang berada di balik lembaga survei tersebut. Ikrar menyatakan, metode survei yang sepintas tampak ilmiah, sebetulnya juga bukan berarti tak bisa ‘dimainkan.’ Ia lantas mencontohkan beberapa ‘permainan’ yang bisa berlaku dalam suatu survei.

“Misalnya, sampel daerah pemilihan akan sangat menentukan hasil survei. Kalau kita bertanya tentang Megawati di daerah yang notabene merupakan basis Demokrat, sudah pasti hasilnya negatif. Sama halnya dengan ketika kita bertanya tentang Aburizal Bakrie di daerah yang merupakan basis Golkar, tentu hasilnya positif,” papar peraih gelar Ph.D. bidang Sejarah Politik dari School of Modern Asian Studies, Griffith University Brisbane, Australia, itu.

Metode survei dengan tatap muka atau tidak tatap muka, lanjut Ikrar, juga akan menelurkan hasil survei yang berbeda. “Misalnya survei lewat telpon cenderung membuat orang menjawab seenaknya, asal cepat selesai. Beda dengan survei tatap muka yang menuntut keseriusan dari responden,” kata Ikrar.

Selanjutnya, masih terkait sampel daerah, meski lembaga survei mengklaim ‘mewakili’ masyarakat Indonesia di 33 provinsi, namun menurut Ikrar, hal itu tidak bisa langsung dijadikan patokan kebenaran. “Meskipun survei dilakukan di 33 provinsi, tapi kalau hanya dilakukan di kota-kota besar, tentu tidak mewakili suara rakyat,” terang Ikrar.

Pada akhirnya, tegas Ikrar, hasil survei juga ditentukan oleh kota, kabupaten, dan tingkat pendidikan responden. Apapun, Ikrar memandang survei tetap penting dilakukan sebagai pembanding. “Lembaga survei di AS atau Australia sekalipun rutin melakukan survei per bulan, per semester, dan per tahun soal akseptabilitas Presiden Barack Obama atau perdana menteri Australia, terkait berbagai kebijakan yang sudah mereka buat,” jelas Ikrar.

Dengan survei, ujar Ikrar, masyarakat dapat melihat naik-turunnya popularitas pemimpin mereka beserta lawan-lawan politik sang pemimpin, dari waktu ke waktu. Namun khusus untuk di Indonesia, “lihat dulu apakah lembaga survei itu diakui otoritasnya atau tidak. Dari situ, kita bisa melihat pantas atau tidak lembaga tersebut melakukan survei,” kata dia.
• VIVAnews

Tidak ada komentar: